spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Minyak Dunia Melemah, Trump–Xi Akan Bertemu Bahas Ketegangan Dagang

“Ketegangan terbaru antara AS dan China akan menjadi tekanan tambahan bagi harga minyak. Jika hubungan dua negara ini terus memanas, pertumbuhan ekonomi China bisa terganggu,” ujar Dennis Kissler, Senior Vice President of Trading di BOK Financial, seperti dikutip Reuters.

Hal senada disampaikan Giovanni Staunovo, analis komoditas dari UBS. Menurutnya, pasar kini memasuki fase risk-off, di mana investor cenderung menghindari aset berisiko karena kombinasi faktor geopolitik dan sinyal bearish dari laporan IEA.

Ketegangan Dagang AS–China Memanaskan Pasar Energi Global

Hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas dan menjadi faktor dominan di balik volatilitas pasar komoditas. Pemerintah China memperluas kontrol ekspor logam tanah jarang (rare earth)—komponen vital dalam industri energi dan teknologi—sebagai respons terhadap kebijakan tarif baru yang dikeluarkan Washington.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengancam akan menerapkan tarif 100% pada produk asal China serta membatasi ekspor perangkat lunak ke negara tersebut mulai 1 November 2025. Langkah ini memperburuk kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global, terutama di sektor manufaktur.

Beijing membalas dengan menjatuhkan sanksi terhadap lima anak usaha Hanwha Ocean—perusahaan asal Korea Selatan yang memiliki afiliasi dengan AS—dan menerapkan biaya pelabuhan timbal balik (reciprocal port fee) terhadap kapal Amerika. Aksi saling balas ini membuat pelaku pasar semakin khawatir bahwa perang dagang jilid baru akan menekan permintaan minyak mentah.

Upaya Diplomasi Masih Terbuka: Trump Dijadwalkan Bertemu Xi Jinping

Di tengah meningkatnya ketegangan, masih ada secercah harapan. Menteri Keuangan AS Scott Bessent memastikan bahwa Presiden Trump tetap berkomitmen bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan pada akhir Oktober 2025. Pertemuan tersebut diharapkan dapat membuka ruang dialog baru untuk meredakan konflik dagang antara kedua negara.

Analis menilai, hasil pertemuan ini akan menjadi penentu arah pasar minyak jangka pendek. Jika pertemuan menghasilkan kesepakatan dagang parsial atau sinyal positif, harga minyak bisa kembali stabil di atas US$ 65 per barel. Sebaliknya, jika negosiasi gagal, harga berpotensi turun lebih dalam ke kisaran US$ 57–58 per barel.

Analisis Teknikal: Sinyal Bearish Masih Kuat di Pasar Minyak

Dari sisi teknikal, spread kontrak minyak Brent enam bulan kini berada pada premi terkecil sejak Mei 2025, sementara WTI spread menyentuh posisi terendah sejak Januari 2024. Kondisi ini menunjukkan melemahnya backwardation, yaitu situasi ketika harga kontrak jangka pendek lebih tinggi dari kontrak jangka panjang.

Dengan melemahnya backwardation, pasar mulai menunjukkan tanda kelebihan pasokan jangka pendek, karena harga pengiriman segera (spot) tidak lagi menunjukkan urgensi permintaan tinggi. Biasanya, hal ini terjadi ketika inventori minyak global meningkat dan konsumsi melemah.

Jika tren ini berlanjut, analis memperkirakan harga minyak bisa terus berada di kisaran US$ 60–63 per barel dalam beberapa pekan ke depan, sebelum menemukan titik keseimbangan baru.

Dampak bagi Indonesia: Harga BBM Bisa Tetap Stabil tapi Risiko Impor Naik

Bagi Indonesia, penurunan harga minyak dunia bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, harga minyak yang lebih murah berpotensi menekan biaya impor energi dan menjaga inflasi tetap terkendali. Namun di sisi lain, jika harga terus turun di bawah US$ 60 per barel, pendapatan dari ekspor migas dan penerimaan negara bisa ikut tergerus.

Pemerintah melalui Kementerian ESDM diperkirakan akan tetap mempertahankan harga BBM domestik hingga akhir tahun, sambil memantau tren global dan kurs dolar AS. Sementara itu, Pertamina diuntungkan dalam jangka pendek karena biaya impor bahan bakar turun, meski tekanan terhadap margin keuntungan masih ada.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Popular Articles