—
jelajahtechno.com — Cryptocurrency, seperti Bitcoin dan aset digital lainnya, menjadi salah satu instrumen investasi baru yang terus berkembang pesat. Namun, di kalangan umat Islam, muncul perdebatan panjang mengenai hukum penggunaannya. Apakah crypto halal atau haram? Pertanyaan ini masih memunculkan pro dan kontra di kalangan ulama.
Artikel ini akan membahas pandangan ulama yang menilai cryptocurrency haram, serta ulama yang berpendapat halal. Dengan begitu, kita bisa memahami perbedaan sudut pandang dan mempertimbangkan aspek syariah dalam berinvestasi.
Apa Itu Cryptocurrency?
Cryptocurrency adalah mata uang digital yang menggunakan teknologi blockchain untuk mengamankan transaksi. Tidak seperti uang kertas atau logam, crypto tidak memiliki bentuk fisik. Aset ini hanya bisa disimpan dalam bentuk digital melalui dompet khusus (crypto wallet).
Nilai crypto sangat fluktuatif, bisa naik-turun dengan cepat dalam hitungan jam. Hal ini membuat sebagian ulama ragu, karena ketidakstabilan harga dianggap mirip dengan praktik spekulasi yang dilarang dalam Islam.
Pandangan Ulama yang Mengharamkan Cryptocurrency
Beberapa ulama besar dan lembaga fatwa menilai cryptocurrency haram dengan berbagai alasan. Berikut pandangannya:
1. Grand Mufti Mesir – Shaykh Shawki Allam
Shaykh Shawki Allam melalui fatwanya menyebut Bitcoin haram. Alasannya:
- Tingkat ketidakpastian tinggi (gharar).
- Risiko penipuan dan kejahatan karena sering digunakan untuk transaksi ilegal.
- Tidak ada regulasi jelas yang menjamin keamanan pengguna.
- Fluktuasi harga sangat ekstrem, sehingga membahayakan masyarakat awam.
- Sulit dipulihkan bila hilang, berbeda dengan uang di bank yang bisa dilacak.
2. Lembaga Keagamaan Turki
Dewan urusan agama Turki juga mengeluarkan fatwa bahwa Bitcoin haram. Alasannya sama: ketidakpastian tinggi, rawan disalahgunakan untuk pencucian uang dan aktivitas kriminal.
3. Shaykh Haitham al-Haddad
Dalam tulisannya, Shaykh Haitham menyatakan crypto tidak halal karena:
- Tidak berbasis nilai riil (intrinsic value).
- Tidak ada otoritas yang menjamin keabsahannya.
- Tingkat volatilitas sangat tinggi.
- Tidak ada kebutuhan mendesak untuk menggunakan crypto sebagai mata uang.
Namun, beliau membuka kemungkinan jika ada crypto yang didukung emas (gold-backed crypto), maka bisa dipertimbangkan halal.
Pandangan Ulama yang Membolehkan Cryptocurrency
Di sisi lain, ada ulama yang menilai cryptocurrency halal dengan alasan bahwa ia telah diakui dan digunakan secara luas sebagai alat tukar.
1. Mufti Faraz Adam
Mufti Faraz menjelaskan bahwa Bitcoin dapat dianggap halal karena memiliki nilai, diterima masyarakat, dan digunakan sebagai alat pembayaran di sejumlah platform. Namun, beliau mengingatkan risikonya masih besar.
2. Mufti Muhammad Abu-Bakar
Mufti Muhammad Abu-Bakar menulis analisis panjang dan menyimpulkan bahwa Bitcoin halal karena:
- Sudah diperdagangkan di banyak bursa.
- Bisa digunakan untuk membeli barang dan jasa.
- Diakui sebagai aset berharga oleh masyarakat.
Beliau menekankan, meski halal, investor harus tetap berhati-hati karena harganya sangat fluktuatif.
3. Shaykh Ziyaad Mahomed
Ketua Komite Syariah HSBC Amanah Malaysia ini menyebut:
- Dalam Islam, mata uang tidak wajib memiliki nilai intrinsik (seperti emas).
- Yang penting, masyarakat mengakui nilai dan bisa menggunakannya untuk transaksi.
- Namun, jika crypto diperdagangkan dengan spekulasi berlebihan, hukumnya bisa jadi meragukan (syubhat).
Secara umum, beliau bersikap optimis terhadap potensi crypto, tetapi tetap dengan catatan kehati-hatian.
Mengapa Ulama Berbeda Pendapat?
Perbedaan pandangan ulama terkait hukum crypto muncul karena beberapa faktor:
- Nilai Intrinsik
Sebagian ulama menilai crypto tidak punya nilai riil seperti emas atau perak. Sebaliknya, ulama lain melihat nilai itu muncul karena diterima masyarakat sebagai alat tukar. - Fluktuasi Harga
Harga crypto bisa naik turun ekstrem. Ulama yang menolak melihat ini sebagai maysir (judi), sedangkan yang membolehkan menilai ini sebagai risiko pasar biasa. - Regulasi
Tidak adanya regulasi global membuat sebagian ulama ragu. Namun, ada yang berpendapat regulasi bukan syarat utama kehalalan, selama ada penerimaan masyarakat. - Kegunaan Praktis
Jika crypto hanya untuk spekulasi, ulama condong mengharamkan. Tapi jika digunakan untuk transaksi sah atau investasi halal, sebagian ulama membolehkan.
Cryptocurrency dan Fatwa Syariah di Indonesia
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 2021 menetapkan bahwa:
- Cryptocurrency sebagai mata uang adalah haram karena mengandung gharar, dharar, dan tidak sah sebagai alat tukar.
- Namun, crypto sebagai aset (komoditas) bisa diperdagangkan selama memenuhi syarat: tidak digunakan untuk hal haram, memiliki underlying jelas, dan sesuai ketentuan syariah.
Artinya, masyarakat Muslim di Indonesia masih bisa berinvestasi di crypto, tapi dengan catatan memperhatikan prinsip syariah dan risiko yang ada.
Tips Aman untuk Muslim Investor
Bagi Muslim yang tertarik dengan crypto, berikut beberapa tips agar tetap sesuai syariah:
- Gunakan crypto sebagai aset investasi, bukan mata uang utama.
- Hindari spekulasi berlebihan atau trading hanya demi keuntungan jangka pendek.
- Pilih platform resmi yang diawasi otoritas (Bappebti di Indonesia).
- Pastikan tidak digunakan untuk transaksi haram, seperti judi atau riba.
- Diversifikasi investasi dengan instrumen halal lain, jangan hanya bergantung pada crypto.
Kesimpulan
Perdebatan mengenai halal atau haramnya cryptocurrency masih terus berlangsung. Sebagian ulama mengharamkan karena dianggap penuh ketidakpastian, berisiko tinggi, dan rawan penyalahgunaan. Sementara sebagian lainnya membolehkan dengan alasan crypto sudah diterima masyarakat sebagai aset berharga dan alat pembayaran.
Di Indonesia, MUI menegaskan bahwa crypto tidak sah sebagai mata uang, tetapi bisa dianggap sebagai aset investasi dengan syarat sesuai syariah.
Sebagai Muslim, langkah terbaik adalah berhati-hati, menghindari spekulasi, dan selalu merujuk pada panduan ulama serta regulasi resmi. Dengan cara ini, umat Islam bisa ikut memanfaatkan peluang ekonomi digital tanpa melanggar prinsip syariah.